Selasa, 14 Desember 2010

MAKALAH KEISTIMEWAAN YOGYAKARTA

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.
Segala puji bagi Allah SWT. yang telah menolong hamba-Nya dalam menyelesaikan makalah ini dengan penuh kemudahan. Tanpa pertolongan-Nya, mungkin makalah ini tidak dapat teerselesaikan dengan baik.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah ISD tentang Keistimewaan Yogyakarta. Makalah ini memuat tentang “Keistimewaan Yogyakarta” dan sengaja dipilih karena sesuai dengan tema yang di ambil yaitu permasalahan yang sedang update saat ini.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca. Walaupun makalah ini memiliki banyak kekurangan dan kelebihan. Penyusun mohon untuk saran dan kritiknya agar makalah ini menjadi lebih baik. Terima kasih.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Depok, Desember 2010
Penulis


Winona Maulida Utami



DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG MASALAH
1.2. PEMBATASAN MASALAH
1.3. PERUMUSAN MASALAH
1.4. TUJUAN PENULISAN

BAB II PEMBAHASAN
2.1. SEJARAH DIY
2.2. KEISTIMEWAAN YOGYAKARTA

BAB III PENUTUP
3.1. KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA



BAB I
PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG MASALAH
Daerah Istimewa Yogyakarta adalah sebuah provinsi yang berdasarkan wilayah Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman. Selain itu ditambahkan pula mantan-mantan wilayah Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Praja Mangkunagaran yang sebelumnya merupakan enklave di Yogyakarta.
Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta dapat dirunut asal mulanya dari tahun 1945, bahkan sebelum itu. Beberapa minggu setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, atas desakan rakyat dan setelah melihat kondisi yang ada, Hamengkubuwono IX mengeluarkan dekrit kerajaan yang dikenal dengan Amanat 5 September 1945. Isi dekrit tersebut adalah integrasi monarki Yogyakarta ke dalam Republik Indonesia. Dekrit dengan isi yang serupa juga dikeluarkan oleh Paku Alam VIII pada hari yang sama. Dekrit integrasi dengan Republik Indonesia semacam itu sebenarnya juga dikeluarkan oleh berbagai monarki di Nusantara, walau tidak sedikit monarki yang menunggu ditegakkannya pemerintahan Hindia Belanda setelah kekalahan Jepang.
Pada saat itu kekuasaan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat meliputi:
1. Kabupaten Kota Yogyakarta dengan bupatinya KRT Hardjodiningrat,
2. Kabupaten Sleman dengan bupatinya KRT Pringgodiningrat,
3. Kabupaten Bantul dengan bupatinya KRT Joyodiningrat,
4. Kabupaten Gunungkidul dengan bupatinya KRT Suryodiningrat,
5. Kabupaten Kulonprogo dengan bupatinya KRT Secodiningrat.
Sedangkan kekuasaan Kadipaten Pakualaman meliputi:
1. Kabupaten Kota Pakualaman dengan bupatinya KRT Brotodiningrat,
2. Kabupaten Adikarto dengan bupatinya KRT Suryaningprang.
Dengan memanfaatkan momentum terbentuknya Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Daerah Yogyakarta pada 29 Oktober 1945 dengan ketua Moch Saleh dan wakil ketua S. Joyodiningrat dan Ki Bagus Hadikusumo, maka sehari sesudahnya, semufakat dengan Badan Pekerja KNI Daerah Yogyakarta, Hamengkubuwono IX dan Paku Alam VIII mengeluarkan dekrit kerajaan bersama (dikenal dengan Amanat 30 Oktober 1945) yang isinya menyerahkan kekuasaan Legeslatif pada Badan Pekerja KNI Daerah Yogyakarta. Mulai saat itu pula kedua penguasa kerajaan di Jawa bagian selatan mengeluarkan dekrit bersama dan memulai persatuan dua kerajaan.
Semenjak saat itu dekrit kerajaan tidak hanya ditandatangani kedua penguasa monarki melainkan juga oleh ketua Badan Pekerja KNI Daerah Yogyakarta sebagai simbol persetujuan rakyat. Perkembangan monarki persatuan mengalami pasang dan surut. Pada 18 Mei 1946, secara resmi nama Daerah Istimewa Yogyakarta mulai digunakan dalam urusan pemerintahan menegaskan persatuan dua daerah kerajaan untuk menjadi sebuah daerah istimewa dari Negara Indonesia. Penggunaan nama tersebut ada di dalam Maklumat No 18 tentang Dewan-Dewan Perwakilan Rakyat di Daerah Istimewa Yogyakarta (lihat Maklumat Yogyakarta Nomor 18 Tahun 1946). Pemerintahan monarki persatuan tetap berlangsung sampai dikeluarkannya UU No 3 Tahun 1950 tentang pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta yang mengukuhkan daerah Kesultanan Yogyakarta dan daerah Paku Alaman adalah bagian integral Negara Indonesia.
"(1) Daerah yang meliputi daerah Kesultanan Yogyakarta dan daerah Paku Alaman ditetapkan menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta. (2) Daerah Istimewa Yogyakarta adalah setingkat dengan Provinsi."(Pasal 1 UU No 3 Tahun 1950)


1.2. PEMBATASAN MASALAH
Untuk memperjelas ruang lingkup pembahasan, makalah yang dibahas dibatasi pada masalah:
a. Sejarah DIY
b. Keistimewaan Yogyakarta

1.3. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah tersebut, masalah-masalah yang dibahas dapat dirumuskan sebagai berikut:
a. Bagaimana sejarah DIY
b. Bagaimana keistimewaan Yogyakarta

1.4. TUJUAN PENULISAN
Tujuan utama dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
a. Untuk memenuhi tugas yang dibeerikan oleh dosen pengajar.
b. Mengetahui sejarah singkat tentang Daerah Istimewa Yogyakarta.
c. Agar pembaca tidak melupakan sejarah DIY.



BAB II
PEMBAHASAN

2.1. SEJARAH DIY
Saat pertama kali didirikan oleh Pangeran Mangkubumi pada saat itu, Yogyakarta bernama Ngayogyakarto Hadiningrat. Luas Yogyakarta sekitar 3.186 km persegi, dengan total penduduk 3.226.443 (statistic Desember 1997). Semula Yogyakarta merupakan bagian dari Kerajaan Mataram, namun mulai 1755 Kerajaan Mataram dibagi menjadi Yogyakarta dan Surakarta (Solo). Keraton Yogyakarta memegang kebudayaan murni ditengah modernisasi selama berabad-abad.
Yogyakarta merupakan pusat kebudayaan Jawa seperti tarian, lukisan, wayang kulit, music gamelan, hingga kesenian lainnya. Selain kesenian tradisional ada pula seni kontemporer yang dimajukan oleh ASRI (Akademi Seni Rupa) .
Yogyakarta adalah kota yang padat penduduk dan merupakan pintu gerbang untuk mencapai tengah pulau Jawa. Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan salah satu dari 34 propinsi di Indonesia. Propinsi ini dibagi menjadi 5 daerah tingkat II, Kotamadia Yogyakarta, Kabupaten Yogyakarta, Kabupaten Bantul, Kabupaten Sleman, Kabupaten Kulon Progo, dan Kabupaten Gunung Kidul.
Berdasarkan sejarah, sebelum 1755 Surakarta merupakan Ibukota Kerajaan Mataram. Setelah perjanjian Gianti (Palihan Nagar) pada 1755, Mataram dibagi menjadi 2 kerajaan: Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarto Hadiningrat . mengikuti kebiasaan, Pangeran Mangkubumi Susuhunan Pakubuwono II, dimahkotai sebagai Raja Ngayogyakarto Hadiningrat . kemudian beliau disebut sebagai Sultan Hamengku Buwono I. Pada tahun 1813, dibawah penjajahan Inggris, pemisahan kerajaan Mataram terjadi untuk ketiga kalinya. Pangeran Notokusumo, putra dari Hamengku Buwono I, dimahkotai sebagai Pangeran Paku Alam I. Kerajaannya terpisah dari Kasultanan Yogyakarta. Ketika Republik Indonesia berdiri pada 17 Agustus 1945, yang dilambangkan dengan penandatanganan Proklamasi Kemerdekaan, Ngayogyakarto Hadiningrat dan Pakualam menyatu sebagai salah satu propinsi di Indonesia dimana Sri Sultan Hamengku Buwono IX ditunjuk ssebagai wakil gubernurnya.


2.2. KEISTIMEWAAN YOGYAKARTA
Daerah Istimewa Yogyakarta provinsi yang memiliki status istimewa atau otonomi khusus. Status ini merupakan sebuah warisan dari zaman sebelum kemerdekaan. Kesultanan Yogyakarta dan juga Kadipaten Paku Alaman, sebagai cikal bakal atau asal usul DIY, memiliki status sebagai "Kerajaan vasal/Negara bagian/Dependent state" dalam pemerintahan penjajahan mulai dari VOC , Hindia Perancis (Republik Bataav Belanda-Perancis), India Timur/EIC (Kerajaan Inggris), Hindia Belanda (Kerajaan Nederland), dan terakhir Tentara Angkatan Darat XVI Jepang (Kekaisaran Jepang).

Oleh Belanda status tersebut disebut sebagai Zelfbestuurende Lanschappen dan oleh Jepang disebut dengan Koti/Kooti. Status ini membawa konsekuensi hukum dan politik berupa kewenangan untuk mengatur dan mengurus wilayah [negaranya] sendiri di bawah pengawasan pemerintah penjajahan tentunya.

Status ini pula yang kemudian juga diakui dan diberi payung hukum oleh Bapak Pendiri Bangsa Indonesia Soekarno yang duduk dalam BPUPKI dan PPKI sebagai sebuah daerah bukan lagi sebagai sebuah Negara.
Pada 19 Agustus 1945 terjadi pembicaraan serius dalam sidang PPKI di Jakarta membahas tentang kedudukan Kooti. Sebenarnya kedudukan Kooti sendiri sudah dijamin dalam UUD, namun belum diatur dengan rinci. Dalam sidang itu Pangeran Puruboyo, wakil dari Yogyakarta Kooti, meminta pada pemerintah pusat supaya Kooti dijadikan 100% otonom, dan hubungan dengan Pemerintah Pusat secara rinci akan diatur dengan sebaik-baiknya. Usul tersebut langsung ditolak oleh Soekarno karena bertentangan dengan bentuk negara kesatuan yang sudah disahkan sehari sebelumnya. Puruboyo menerangkan bahwa banyak kekuasaan sudah diserahkan Jepang kepada Kooti, sehingga jika diambil kembali dapat menimbulkan keguncangan.

Ketua Panitia Kecil PPKI untuk Perancang Susunan Daerah dan Kementerian Negara , Oto Iskandardinata, dalam sidang itu menanggapi bahwa soal Kooti memang sangat sulit dipecahkan sehingga Panitia Kecil PPKI tersebut tidak membahasnya lebih lanjut dan menyerahkannya kepada beleid Presiden.
Dengan dukungan Mohammad Hatta, Suroso, Suryohamijoyo, dan Soepomo, kedudukan Kooti ditetapkan status quo sampai dengan terbentuknya Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah. Pada hari itu juga Soekarno mengeluarkan piagam penetapan kedudukan bagi kedua penguasa tahta Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman. Piagam tersebut baru diserahkan pada 6 September 1945 setelah sikap resmi dari para penguasa monarki dikeluarkan.

Pada tanggal 1 September 1945, Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Yogyakarta dibentuk dengan merombak keanggotaan Yogyakarta Kooti Hookookai. Pada hari yang sama juga dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR). Usai terbentuknya KNID dan BKR, Sultan HB IX mengadakan pembicaraan dengan Sri Paduka PA VIII dan Ki Hajar Dewantoro serta tokoh lainnya. Setelah mengetahui sikap rakyat Yogyakarta terhadap Proklamasi, barulah Sultan HB IX mengeluarkan dekrit kerajaan yang dikenal dengan Amanat 5 September 1945. Isi dekrit tersebut adalah integrasi monarki Yogyakarta ke dalam Republik Indonesia. Dekrit dengan isi yang serupa juga dikeluarkan oleh Sri Paduka PA VIII pada hari yang sama.

Dekrit integrasi dengan Republik Indonesia semacam itu sebenarnya juga dikeluarkan oleh berbagai monarki di Nusantara, walau tidak sedikit monarki yang menunggu ditegakkannya pemerintahan Nederland Indie setelah kekalahan Jepang. Dekrit semacam itu mengandung risiko yang sangat besar. Seperti di daerah Sulawesi, Raja Kerajaan Luwu akhirnya terpaksa meninggalkan istananya untuk pergi bergerilya melawan Sekutu dan NICA untuk mempertahankan dekritnya mendukung Indonesia.
Dengan memanfaatkan momentum terbentuknya Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Daerah Yogyakarta pada 29 Oktober 1945 dengan ketua Moch Saleh dan wakil ketua S. Joyodiningrat dan Ki Bagus Hadikusumo, sehari sesudahnya Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII mengeluarkan dekrit kerajaan bersama (dikenal dengan Amanat 30 Oktober 1945) yang isinya menyerahkan kekuasaan Legislatif pada BP KNI Daerah Yogyakarta.
Mulai saat itu pula kedua penguasa kerajaan di Jawa bagian selatan memulai persatuan kembali kedua kerajaan yang telah terpisah selama lebih dari 100 tahun. Sejak saat itu dekrit kerajaan tidak dikeluarkan sendiri-sendiri oleh masing-masing penguasa monarki melainkan bersama-sama dalam satu dekrit.
Selain itu dekrit tidak hanya ditandatangani oleh kedua penguasa monarki, melainkan juga oleh ketua Badan Pekerja KNI Daerah Yogyakarta yang dirangkap oleh Ketua KNI Daerah Yogyakarta sebagai wakil dari seluruh rakyat Yogyakarta.
Seiring dengan berjalannya waktu, berkembang beberapa birokrasi pemerintahan (kekuasaan eksekutif) yang saling tumpang tindih antara bekas Kantor Komisariat Tinggi (Kooti Zimukyoku) sebagai wakil pemerintah Pusat, Paniradya (Departemen) Pemerintah Daerah (Kerajaan) Yogyakarta, dan Badan Eksekutif bentukan KNID Yogyakarta.
Tumpang tindih itu menghasilkan benturan yang cukup keras di masyarakat dan menyebabkan terganggunya persatuan. Oleh karena itu, pada 16 Februari 1946 dikeluarkan Maklumat No. 11 yang berisi penggabungan seluruh birokrasi yang ada ke dalam satu birokrasi Jawatan (Dinas) Pemerintah Daerah yang untuk sementara disebut dengan Paniradya. Selain itu melalui Maklumat-maklumat No 7, 14, 15, 16, dan 17, monarki Yogyakarta mengatur tata pemerintahan di tingkat kalurahan (sebutan pemerintah desa saat itu).



BAB III
PENUTUP

3.1. KESIMPULAN
Daerah Istimewa Yogyakarta adalah sebuah provinsi yang berdasarkan wilayah Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman. Selain itu ditambahkan pula mantan-mantan wilayah Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Praja Mangkunagaran yang sebelumnya merupakan enklave di Yogyakarta.
Sementara itu, Daerah Istimewa Yogyakarta adalah provinsi yang memiliki status istimewa atau otonomi khusus. Status ini merupakan sebuah warisan dari zaman sebelum kemerdekaan. Kesultanan Yogyakarta dan juga Kadipaten Paku Alaman, sebagai cikal bakal atau asal usul DIY, memiliki status sebagai "Kerajaan vasal/Negara bagian/Dependent state" dalam pemerintahan penjajahan mulai dari VOC , Hindia Perancis (Republik Bataav Belanda-Perancis), India Timur/EIC (Kerajaan Inggris), Hindia Belanda (Kerajaan Nederland), dan terakhir Tentara Angkatan Darat XVI Jepang (Kekaisaran Jepang).

3.2. SARAN
Bagi masyarakat yang mempunyai jiwa nasionalis yang tinggi disarankan untuk tidak melupakan sejarah yang ada. Tanpa sejarah, kita takkan sampai pada titik saat ini yaitu Kemerdekaan dan menjadi Negara berkembang.



DAFTAR PUSTAKA

http://id.wikipedia.org/wiki/Daerah_Istimewa_Yogyakarta#Sejarah
http://karodalnet.blogspot.com/2010/12/keistimewaan-yogyakarta.html
http://id.shvoong.com/humanities/history/1947170-sejarah-yogyakarta/